Sumber: makna kurban-ruanghati.com, Ibadah Qurban-PesantrenVirtual.com, Makna hari raya idhul adha-Mukti Blog Dot Com.
Sabtu, 05 November 2011
Makna hari Raya Kurban
Sumber: makna kurban-ruanghati.com, Ibadah Qurban-PesantrenVirtual.com, Makna hari raya idhul adha-Mukti Blog Dot Com.
Keajaiban Al Quran
Ilmu Pengetahuan Modern mengungkap Keajaiban Al Qur’an
Didasarkan pada karya-karya Harun Yahya
Garis Edar
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (Al Qur'an, 21:33)
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Al Qur'an, 36:38)
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur'an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana. Selanjutnya baca
Marhaban Yaa Ramadhan
Maharban Yaa Ramadhan
Ditulis oleh Muhammad Niam
Seluruh umat Islam kini menyerukan 'Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan", selamat datang Ramadhan, Selamat datang Ramadhan. Di masjid-masjid, musholla, koran-koran, stasiun televisi dan radio dan berbagai mailing list, ungkapan selamat datang Ramadhan tampil dengan berbagai ekpresi yang variatif.
Setiap media telah siap dengan dengan sederet agendanya masing-masing. Ada rasa gembira, ke-khusyu'-an, harapan, semangat dan nuansa spiritualitas lainnya yang sarat makna untuk diekpresikan. Itulah Ramadhan, bulan yang tahun lalu kita lepas kepergiannya dengan linangan air mata, kini datang kembali.
Sejumlah nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa pun marak dikaji dan kembangkan. Ada nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti: pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni.
Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan.
Dengan mempersiapkan dan memprogram aktifitas kita selama bulan Ramadhan ini, insya Allah akan menghasilkan kebahagiaan. Kebahagiaan akan terasa istimewa manakala melalui perjuangan dan jerih payah. Semakin berat dan serius usaha kita meraih kabahagiaan, maka semakin nikmat kebahagiaan itu kita rasakan. Itulah yang dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan.
Pertama yaitu kebahagiaan ketika ia "Ifthar" (berbuka). Ini artinya kebahagiaan yang duniawi, yang didapatkannya ketika terpenuhinya keinginan dan kebutuhan jasmani yang sebelumnya telah dikekangnya, maupun kabahagiaan rohani karena terobatinya kehausan sipritualitas dengan siraman-siraman ritualnya dan amal sholehnya.
Kedua, adalah kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Inilah kebahagian ukhrawi yang didapatkannya pada saat pertemuannya yang hakiki dengan al-Khaliq. Kebahagiaan yang merupakan puncak dari setiap kebahagiaan yang ada.
Akhirnya, hikmah-hikmah puasa dan keutamaan-keutaman Ramadhan di atas, dapat kita jadikan media untuk bermuhasabah dan menilai kualitas puasa kita. Hikmah-hikmah puasa dan Ramadhan yang sedemikian banyak dan mutidimensional, mengartikan bahwa ibadah puasa juga multidimensional. Begitu banyak aspek-aspek ibadah puasa yang harus diamalkan agar puasa kita benar-benar berkualitas dan mampu menghasilkan nilai-nilai positif yang dikandungnya. Seorang ulama sufi berkata "Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum". Ini berarti di sana masih banyak puasa-puasa yang tidak sekedar beroleh dengan jalan makan dan minum selama sehari penuh, melainkan 'puasa' lain yang bersifat batiniah.
Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktifitas dan ibadah-ibadah dengan ihlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.
Muhammad Niam
Syariat dan Hakekat Shaum
Syariat dan Hakekat Shaum
Selasa, 08 September 2009, 07:04 WIB
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumush shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qablikum la’allakum tattaqquun”, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al Baqarah, 2 : 183)
Seruan ayat di atas khususnya ditujukan hanya bagi orang-orang yang beriman. Ini bermakna bahwa tidak ada arti apa-apa bagi amal seseorang jika dilakukan tidak berdasar iman. Betapapun mulianya amal perbuatan seseorang, kalau dilakukan tanpa dasar iman dengan niat semata-mata ingin mencapai ridha Allah, maka sia-sialah amalnya itu, dia tidak menjadi amal yang shaleh di hadapan Allah SWT.
Adapun ciri-ciri orang yang beriman cukup banyak dipaparkan dalam Al Qur’an, salah satu di antaranya sebagaimana dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (Al Hujuraat, 49 : 15).
Berkaitan dengan Ramadhan, ada beberapa hadits yang patut kita simak. Di antaranya dalam sabdanya: “Jika tiba bulan suci Ramadhan maka dibukalah oleh Allah pintu-pintu surga (rahmat Allah) dan ditutuplah rapat-rapat pintu neraka dan syaitan pun dibelenggu” (HR. Bukhari). Maknanya, bahwa dalam bulan Ramadhan, Allah SWT memberikan peluang bagi setiap orang yang mau melaksanakan ibadah dengan Allah membuka selebar-lebarnya jalan masuk syurga dan seakan-akan tertutuplah baginya untuk masuk pintu neraka Jahannam.
Untuk memudahkan orang-orang memasuki pintu syurga, maka selama bulan Ramadhan Iblis pun dibelenggu oleh Allah. Mereka tidak diberi kesempatan oleh Allah untuk menggoda manusia agar manusia lebih mudah lagi menuju syurga. Bila syaitan selama bulan Ramadhan dibelenggu, maka saat itu pula semoga kita bisa introspeksi diri kita, siapa sebenarnya diri kita ? Karena ada di antara saudara kita yang melakukan perbuatan maksiat di luar bulan Ramadhan sering pula dia berdalih menyalahkan syaitan, karena syaitanlah yang menjerumuskannya.
Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah ra. berkata: Nabi Saw. bersabda: “Setiap amal Bani Adam dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: “kecuali shaum, shaum itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan memperhitungkannya” (HR. Muslim) Kenapa Allah SWT sampai harus menyatakan, bahwa shaum itu khusus untuk-Ku ? Padahal semua ibadah yang kita lakukan dalam kehidupan ini semuanya hanya untuk Allah. Memang, semua ibadah yang kita lakukan adalah untuk Allah, tapi mungkinkah seseorang itu shalat, berzakat, menunaikan haji dan bersedekah bukan karena Allah? “Sangat mungkin”. Tapi sangat kecil kemungkinan seseorang itu shaum bukan karena Allah.
Dalam lanjutan haditsnya, lalu Allah SWT menjanjikan bagi seseorang yang bisa mencapai hakikat shaum, dikatakan bahwa dia akan memperoleh “dua” kebahagiaan atau kenikmatan. Kenikmatan pertama, dia akan memperoleh kebahagiaan atau kenikmatan saat berbuka. Kenikmatan ini bisa diperoleh seseorang yang shaum setelah dari terbit fajar hingga terbenam matahari bisa mengendalikan hawa nafsu dari perbuatan yang tidak diridhai Allah. Kenikmatan kedua, orang yang bisa mencapai hakikat shaum dijanjikan Allah di akhirat kelak dia bisa berjumpa dengan Allah.
Pada ujung hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini dinyatakan bahwa “bau mulut orang yang sedang shaum itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak kasturi”. Pernyataan Allah SWT yang seperti ini menunjukkan bahwa setiap orang yang shaum dan shaumnya baik dan benar sesuai yang dicontohkan Rasulullah Saw, maka semua aspek kehidupannya dihargai oleh Allah. Dari mulai ucap, sikap dan perilakunya akan bernilai di sisi Allah SWT. Kenapa bisa disimpulkan demikian ? Karena bau mulut seorang yang sedang shaum saja bernilai.
Dalam hadits lain dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Bukhori, Rasulullah Saw menyatakan, “Barang siapa yang tidak bisa menahan diri dari ucapan-ucapan yang keji atau melakukan perbuatan yang keji, maka tidak ada kepentingan bagi Allah dia menahan diri dari lapar dan dahaga”. Syariat shaum di antaranya adalah menahan diri dari makan dan minum yang halal, sebab dari yang haram seseorang sudah pasti harus “shaum” (menahan diri) seumur hidup. Agar seseorang bisa menahan diri dari yang haram seumur hidup, maka dilatihlah ia oleh Allah selama bulan Ramadhan dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan bershaum dari hak milik sendiri yang halal. Maka apa artinya shaum dari yang halal, kalau sepanjang hari melakukan yang haram dengan mengucapkan kata-kata yang keji, misalnya.
Adakah maksud tertentu di balik perintah “Shaum” (menahan diri) untuk menikmati sesuatu yang halal dari terbit fajar hingga terbenam matahari ? Padahal, yang akan dinikmati itu adalah milik sendiri yang halal. Maksud dari latihan selama sebulan “Shaum” dari yang halal itu adalah diharapkan sebelas bulan berikutnya di luar bulan Ramadhan semestinya bisa dan mampu shaum untuk menahan diri dari yang haram. Inilah sebenarnya hakikat shaum yang dikehendaki oleh Allah yang jika dipenuhi oleh setiap Mu’min, dipastikan ia akan mencapai derajat termulia di sisi Allah SWT yakni Muttaqien sebagai buah dari shaumnya (Q.S. Al Baqarah, 2 : 183).
Agar kita mencapai derajat Muttaqien (Q.S. Al Hujuraat, 49 : 13) kita dituntut menunaikan amal ibadah termasuk di dalamnya ibadah shaum dengan penuh kesungguhan sehingga kita tidak sampai terancam oleh peringatan Rasulullah Saw yang dalam haditsnya menyatakan, “Alangkah banyaknya orang yang melakukan ibadah shaum, mereka tidak memperoleh apa-apa dari shaumnya kecuali lapar dan dahaga” (HR. Ahmad dan Hakim). IniIah yang mesti kita khawatirkan, bagaimana agar jangan sampai kita masuk golongan mayoritas orang yang shaum tapi tidak sampai kepada tujuan shaum yang menjadikan kita insan yang muttaqien.
Semoga ibadah Ramadhan kita kali ini dapat mengantarkan kita untuk dapat memenuhi kriteria-kriteria takwa yang telah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Amin!
Wallahu a’lam bish-shawab
Red: Republika Newsroom
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/09/09/08/74903-syariat-dan-hakikat-shaum
Comments :
0 komentar to “Makna hari Raya Kurban”
Posting Komentar